
Target pertumbuhan ekonomi domestik sebesar 8 persen menjadi sorotan ketika pemerintah memutuskan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Kebijakan ini memicu beragam reaksi, baik dari sisi akademik maupun praktis, dan menuntut perencanaan yang matang agar tidak menjadi bumerang bagi daya beli masyarakat.
Rencana kenaikan tarif PPN telah dibahas sejak satu hingga dua tahun terakhir. Pemerintah melalui Menteri Keuangan menyebut langkah ini diperlukan untuk optimalisasi pendapatan negara. Tujuannya adalah memastikan pembangunan merata tanpa mengorbankan konsumsi masyarakat. Kebijakan ini dirancang dalam paket stimulus ekonomi yang menyasar enam aspek utama: rumah tangga, buruh, UMKM, industri padat karya, kendaraan listrik, dan sektor properti.
Foto: Istimewa
Namun, angin segar yang diberikan sebelumnya bahwa PPN 12 persen hanya akan diterapkan pada barang-barang mewah seperti hunian eksklusif, senjata api, kapal pesiar, dan pesawat—seolah sirna. Pemerintah kini terlihat siap menerapkan kebijakan ini lebih luas mulai awal tahun 2025.
SAPMA Pemuda Pancasila Jawa Timur (SAPMA PP Jatim) menyatakan keprihatinannya atas kebijakan ini, menyebutkan beberapa implikasi yang dapat memengaruhi sektor pendidikan dan daya saing ekonomi Indonesia di kawasan ASEAN:
- Pendidikan Sebagai Komoditas Komersial
Kenaikan PPN ini dikhawatirkan memperparah disparitas pendidikan, memperkuat perbedaan antara sekolah “sultan” dengan sekolah yang lebih sederhana. Hal ini mengancam kualitas penyelenggaraan pendidikan domestik, terutama dalam konteks pendidikan premium. - PPN Tertinggi di ASEAN
Dengan tarif 12 persen, Indonesia akan menyamai Filipina sebagai negara dengan PPN tertinggi di kawasan ASEAN. Sebagai perbandingan, negara-negara lain seperti Vietnam (10 persen, sementara turun menjadi 8 persen), Malaysia (10 persen), dan Thailand (7 persen) memiliki tarif yang lebih rendah, bahkan Brunei dan Timor Leste tidak menerapkan PPN domestik. - Rekomendasi untuk Revisi dan Kajian Lebih Lanjut
SAPMA PP Jatim meminta pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan ini, termasuk merevisi klausul dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan agar lebih responsif terhadap dampaknya. Kebijakan yang dirancang sebaik mungkin diyakini dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang diinginkan tanpa mengorbankan kesejahteraan rakyat.
Pernyataan Ketua Pengurus Wilayah SAPMA Pemuda Pancasila Jawa Timur Arderio Hukom
Dalam rilisnya, menegaskan bahwa kenaikan PPN ini bukan hanya soal angka tetapi juga soal keberpihakan kepada rakyat.
“Ketika pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen, dampaknya akan terasa langsung oleh masyarakat, terutama mereka yang berada di kelas menengah ke bawah. Kebijakan ini perlu dikaji ulang secara komprehensif, karena kami khawatir tidak hanya akan memperbesar kesenjangan sosial tetapi juga memperlambat pemulihan ekonomi di tengah masyarakat,” ujar Arderio.
Ia juga menambahkan, seyogyanya pemerintah harus bisa memberikan kejelasan mengenai kebijakan ini.
“Pemerintah harus memberikan kejelasan tentang implementasi kebijakan ini. Jika tidak, kita akan menghadapi situasi di mana rakyat kehilangan daya beli sementara pembangunan tidak berjalan secara merata. Jangan sampai, demi mengejar target ekonomi, kita mengorbankan stabilitas sosial,” tambahnya.
Kontributor:
Yusron Ibramsyah